ISLAM DAN POLOTIK

Pada edisi lalu telah diterangkan arti “Rasul” dan “Ulil Amri” secara panjang lebar. Saat ini penulis ingin memfokuskan pembahasan kali ini pada seputar ‘teknis mengembalikan urusan urusan politik kepada ulil umri’, yang dalam hal ini adalah para pemimpin yang terpercaya dan ulama yang memadai. Itu semua masih dalam rangka menerangkan kalimat

walau rudduhu ila rosul ila ulil amri minhum ‘

Tulisan berikut ini adalah rangkuman dari tulisan-tulisan para ulama dalam bidang Siyasah Syar’iyah (dalam perpolitikan Islam), juga merupakan inti sari yang sempat penulis ambil dari perjalanan sejarah perpolitikan Islam. Khususnya pada zaman keemasannya yang pernah dicapai oleh tiga generasi Islam pertama (sahabat, tabi’in dan tabiit tabi’in), sebagaimana pernah disinyalir oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya

Artinya : “Sebaik baik generasi adalah generasiku kemudian yang berikutnya (tabi’in) kemudian berikutnya (tabi’it tabi’in)”


Oleh karenanya, bisa dinyatakan disini bahwa sebuah teori kemasyarakatan ataupun kenegaraan yang keluar dari kerangka berpikirnya tiga generasi Islam diatas, sudah dipastikan akan menemui kegagalan. Para pembaca bisa membuktikan kebenaran pernyataan diatas, melalui serial tulisan ini. Khususnya didalam perpolitikan Islam. Namun sebelum memasuki point selanjutnya, sebagai follow up dari pembahasan lalu, ada beberapa hal yang perlu diselesaikan berhubungan dengan keterlibatan ulama didalam dunia politik. Apalagi dunia politik sering diidentikkan dengan dunia yang penuh kekotoran, kepalsuan, penipuan dan berbagai perbuatan keji lainnya. Diakui atau tidak, kenyataannya memang begitu. Apalagi kalau orang yang terjun didalamnya tidak menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

Disini, keterlibatan ulama dalam dunia politik sering menjadi sebuah dilema, kalau mereka mundur, maka orang orang rusaklah yang akan bermain didalamnya, sebaliknya sering merreka larut didalam hubungan politik yang kotor tersebut. Banyak dari mereka sebelum tejun kedunia politik, adalah para pimpinan pesantren atau guru-guru ngaji yang barang kali tidak mau pusing memikirkan harta dan kesenangan dunia, yang pola pikir seperti itu, tidak disenangi oleh setan dan iblis. Mereka berusaha mencari berbagai jalan untuk menyesatkan orang-orang seperti itu. Maka harta dan kekuasaan–dua hal yang sangat menonjol didalam dunia perpolitikan— merupakan senjata yang sangat ampuh untuk membekuk mereka.


Oleh karenanya, kita kadang -kadang risih dengan kerakusan sebagian kyai, yang semestinya diharapkan untuk bisa mengarahkan ummat kepada jalan yang lebih baik, justru bergelimangan didalam perebuatan kekuasaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka dengan begitu berani mengorbankan aqidah mereka demi kekuasaan, harta maupun hanya sekedar untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Ulama model seperti ini, tentunya bukan yang dimaksud penulis untuk hadir didalam dunia perpolitikan


FORMAT-FORMAT KETERLIBATAN ULAMA DI DALAM DUNIA PERPOLITIKAN

Paling tidak ada dua format yang diijinkan oleh syara’ berhubungan dengan keterlibatan ulama dalam dunia perpolitikan :

Pertama, Format luar pagar bermain diluar lapangan.

Di dalam format ini, para ulama tidak terlibat dalam delik administrasi perpolitikan secara langsung, tetapi mereka tetap duduk ditengah-tengah masyarakat mengajar, membimbing dan mengarahkan mereka kejalan yang benar. Walaupun demikian, mereka tetap beramar ma’ruf dan nahi munkar menurut kondisi lingkungan yang ada. Termasuk didalamnya mengingatkan para pengusa jika melakukan kesalahan dan penyelewengan, memberikan fatwa-fatwa kemasyarakatan, kenegaraan dan urusan-urusan politik, yang tentunya diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

Tugas mereka tidak ternodai sedikitpun dengan harta-harta kenegaraan maupun kepentingan kepentingan orang-orang tertentu. Oleh karenanya, mereka tidak takut sedikitpun dengan kediktatoran seorang penguasa. Bahkan mereka siap mati dalam mempertahankan dan mengemban amanat Allah ini. Inilah sebaik baik jihad sebagaimana yang disabdakan Rosul saw,

Artinya : “ Sebaik baik jihad adalah berkata benar didepan pengusa yang dholim”

Dikatakan sebaik baik jihad, karena seorang ulama yang berkata benar didepan seorang penguasa yang lalim, akan menemui resiko yang sangat besar. Paling tidak akan dicaci dikecam dan disiksa dengan semena mena, bahkan akan dibunuh tanpa ada satupun orang yang membelanya. Disisi lain, beramar ma’ruf nahi munkar didepan para penguasa yang lalim merupakan aktifitas tertutup dan tidak terikat oleh banyak manusia, sehingga lebih mendekatkan kepada keikhlasan.

Terlalu banyak contoh ulama, untuk disebutkan dalam hal ini, terutama yang hidup pada masa masa kejayaan Islam pada abad pertama, kedua dan ketiga hijriyah. Salah satunya adalah Said bin Jubair yang disembelih oleh Hajjaj At-Tsaqofi hanya karena mengatakan kalimatul haq dihadapannya. Ketika Hajjaj Ats-Tsaqofi bertanya, “Bagaimana pendapat anda tentang saya?” Dengan tenang Said bin Jubair menjawab, “Anda adalah seorang penguasa yang menyelisihi ajaran kitab dan sunnah, yang berbuat semena-mena kepada rakyat demi mencari kewibaaan. Perbuatan anda semacam ini akan mengantarkan anda kepada kehancuran.” (Lihat Sofatus Sofah, Ibnu Jauzi 3/56).


IBNU TAIMIYYAH DAN FATWA POLITIK

Termasuk contoh format pertama, tapi dalam bentuk yang lebih luas, adalah apa yang dilakukan oleh Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah yang terkenal dengan keberanainnya didalam menyampaikan kebenaran didepan penguasa. Tak heran jika beliau sangat segani, bukan saja oleh orang awam, murid-murid dan para rivalnya, bahkan khalifah dan para gubernur sendiri sangat menghormatinya. Salah satu peran beliau yang sangat besar didalam dunia poliotik waktu itu, adalah fatwa politik yang beliau sampaikan berkenaan dengan invansi militer bangsa Tartar terhadap negeri-negeri Islam. Disaat-saat kaum muslimin panik, disaat para gubernur dan khalifah sudah mulai putus asa, tampillah Ibnu Taimiyah, dia bangkit menghadap khalifah seorang diri, menasehatinya dan mengajaknya untuk mengangkat senjata dan mengumandangkan jihad suci melawan tentara Tatar. Demikianlah, wilayah kaum muslimin dapat diselamatkan hanya dengan seorang ulama yang konsisten memegang teguh ajaran-ajaran Islam.

Perlu dicatat disini, bahwa keterlibatan Ibnu Taimiyah sebagai seorang ulama didalam dunia politik, bukan berarti beliau terjun didalamnya bersama pejabat negara lainnya, yang sekalipun waktu itu, bisa disebut negara Islam yang menerapkan hukum-hukum Islam didalam kehidupan bernegara secara resmi dan luas. Itu terlihat jelas dalam satu pernyataannya

“Saya seorang tokoh agama bukan seorang negarawan.” (Lihat Ibnul Abdil Hadi, Al Uqud ad Duriyah Hal 177)

Format Kedua Bergerak di dalam sistem, yang berarti Ulama terlibat secara langsung didalam adminstrasi negara dan menduduki salah satu jabatan pemerintahan.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang kelompok atau format kedua ini, silahkan mengikuti pembahasan Ahlul Halli Wal Aqdi dibawah ini. Hal itu, karena hanya merekalah (para negarawan) atau orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang serupa dengan merekalah, yang berhak masuk dan terjun ke dalam medan politik yang sangat berbahaya tersebut. Adapun keterangannya sebagai berikut ;

PENGERTIAN AHLUL HALLI WAL AQDI

Ahlul Halli wal Aqdi adalah istilah baru tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Namun demikian, para ulamalah yang telah meletakkan istilah tersebut. Ini bukan berarti istilah tersebut bid’ah karena belum pernah digunakan pada zaman Rasulullah saw, maupun pada zaman Sahabat. Akan tetapi, istilah-istilah keilmuan semacaam ini bisa di golongkan didalam MASHALIHUL MURSALAH (kemaslahatan umum) yang diizinkan oleh Syariat Islam,sebagaimana istilah-istilah ushul fiqh, ilmu Nahwu, Mustholahul Hadits dan lain-lainnya.

Istilah Ahlul Halli wal Aqdi ini banyak kita dapati pada buku-buku siyasah syar’iyyah, seperti Ahkam Sulthaniyah-nya Abul Hasan Al-Mawardi dan Abu Ya’la Al Farra’. Adapun secara bahasa, Istilah Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari tiga kalimat:

a. Ahlul, yang berarti orang yang berhak (yang memiliki).

b. Halli, yang berarti, melepaskan, menyesuaikan, memecahkan.

c. Aqdi, yang berarti mengikat, mengadakan transaksi, membentuk.

Dari pengertian secara bahasa di atas, dapat kita simpulkan pengertian Ahlul Halli wal Aqdi secara istilah yaitu “Orang-orang yang berhak membentuk suatu sistem didalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu.”

SIAPAKAH YANG DIANGGAP AHLUL HALLI WAL AQDI?

Para ulama berselisih pendapat didalam menentukan kriteria Ahlul Halli wal Aqdi, akan tetapi semua pendapat yang beredar tersebut,tidak keluar dari kerangka pengertian Ulil Amri, yang pernah penulis jelaskan pada edisi yang lalu. Dari situ, penulis cenderung untuk mengatakan bahhwa Ahlul Halli wal Aqdi adalah Ulil Amri itu sendiri. Kalau begitu, kenapa pembahasan Ulil Amri tidak disatukan dengan Ahlul Halli wal aqdi? Atau kenapa tidak memakai salah satu istilah saja, agar tidak membingungkan pembaca? Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, penulis menyediakan beberapa jawaban dibawah ini ;

Pertama, Ulil Amri adalah istilah Syar’i yang terdapat didalam Al-Quran. Sehingga didalam penafsiirannya, perlu menukil pendapat mufassirun yang tsiqqoh, sebagaimana telah diterangkan pada edisi lalu. Ulil Amri dalam konteks semacam ini, lebih terkesan sebuah sosok dan tokoh, atau sekumpulan sosok dan tokoh yang harus ditaati perintah-perintahnya selama itu sesuai dengan syara’.(tanpa banyak menyentuh proses terangkatnya tokoh tersebut dan bagaimana teknis kerjanya). Oleh karena itu penulis letakkan pembahasan ini didalam penafsiran kata Ulil Amri.

Kedua. Disisi lain, ketika penulis hendak menerangkan kalimat yaitu bagaimana teknis mengembalikan permasalahan politik kepada Ulil Amri, ternyata penulis mendapatkan para ulama didalam pembahasan ini, lebih banyak menggunakan istilah Ahlul Halli wal Aqdi daripada istilah Ulil Amri itu sendiri. Dari situ penulis menemukan sebuah konklusi sebagai berikut:

1. Ulil Amri lebih sering digunakan didalam menggambarkan tokoh atau orang yang wajib ditaati selama itu sesuai denga syara’

2. Ahlul Halli wal Aqdi lebih sering digunakan ketika membicarakan teknis kerjanya. wallahu a’lam

0 komentar: